PERNYATAAN SIKAP ATAS DITERBITKANNYA SP3 DALAM KASUS
PIDANA LUMPUR LAPINDO
PIDANA LUMPUR LAPINDO
Pada Jumat (7/8/2009) Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap perkara pidana lumpur Lapindo. Alasan Polda Jatim adalah:
Penyidik Polda Jatim tidak dapat memenuhi petunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk
membuktikan korelasi semburan lumpur dengan kegiatan eksplorasi Sumur Banjar 1. Gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ditolak oleh pengadilan. Mahkamah Agung (MA) memutuskan semburan lumpur Lapindo adalah bencana alam, bukan kesalahan pemboran. Polda Jatim berkesimpulan bahwa kasus itu bukan kasus pidana.Tidak ada saksi fakta yang mengetahui korelasi semburan lumpur Lapindo dengan aktivitas pemboran di sumur Banjar Panji 1 Porong Sidoarjo.Demi kepastian hukum, sebab penyidikan perkara tersebut telah makan waktu tiga tahun.
Dengan alasan-alasan tersebut maka Polda Jatim berkesimpulan bahwa perkara tersebut BUKAN MERUPAKAN TINDAK PIDANA.
Terhadap sikap dan tindakan Kepolisian tersebut kami menyatakan sikap sebagai berikut:
Diterbitkannya SP3 oleh Kepolisian patut diduga sebagai upaya pembatasan tanggung jawab Grup Bakrie, sehingga negara dirugikan melalui APBN dan rakyat korban dirugikan secara langsung. Sebab, konklusi bahwa dalam perkara itu tidak ada unsure kesalahan Lapindo, maka akhirnya Lapindo tidak dapat dituntut tanggung jawab untuk mengganti segala kerugian materiil dan imateriil.
Kejaksaan menjadi kendala besar dalam penanganan kasus pidana lumpur Lapindo tersebut sebab memberikan petunjuk (P19) yang menurut penyidik berubah-ubah dan tidak mungkin dilaksanakan, dapat disimpulkan pula dengan pelimpahan berkas perkara 4 (empat) kali ke Kejaksaan secara berulang-ulang dan terus dikembalikan. Sebenarnya Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan pemeriksaan tambahan dalam perkara itu berdasarkan wewenangnya menurut UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (pasal 30 ayat 1 huruf e), tetapi Kejaksaan tidak melaksanakan tugas dan wewenang itu.
Kepolisian tidak pada tempatnya menjadikan putusan MA maupun Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap gugatan perdata yang diajukan WALHI dan YLBHI sebagai pertimbangan dikeluarkannya SP3, sebab prinsip pencarian kebenaran dalam perkara pidana berbeda dengan perkara perdata. Hukum Acara Pidana mencari kebenaran materiil, sedangkan Hukum Acara Perdata mencari kebenaran formil. Sehingga, penyidik Kepolisian dalam perkara pidana seharusnya tidak menjadikan alat bukti putusan pengadilan perdata dalam kasus Lumpur Lapindo sebagai alat bukti yang dapat menyimpulkan kebenaran materiilnya.
Kepolisian melakukan penyesatan opini seolah-olah tidak ada saksi fakta yang mengetahui korelasi kegiatan pemboran dengan semburan lumpur Lapindo, padahal jika secara sungguh-sungguh dilakukan pemeriksaan maka para saksi dapat menjelaskan data-data peristiwa pemboran termasuk data korespondensi internal pelaksana pemboran Sumur Banjar Panji 1 yang disebutkan dalam laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta data-data yang disebutkan oleh TriTech Petroleum Consultants Limited yang memberikan analisisnya kepada Medco Energi International. Penyidik Polda Jatim juga pernah memeriksa saksi penting (mekanik) yang pernah mengetahui langsung proses kecelakaan pemboran yang berujung pada semburan lumpur Lapindo tersebut.
Bahkan dalam contoh kasus pembunuhan kepada Munir, tak aksi yang mengetahui langsung siapa yang membunuh Munir, tetapi kasusnya dilimpahkan ke pengadilan dan dapat ditemukan pembunuh Munir dengan menggunakan ukuran logika obyektif dalam mencari korelasi sebab-akibat peristiwa pidana.
Kepolisian terburu-buru dalam mengeluarkan SP3 perkara pidana kasus lumpur Lapindo sebab perkara pidana pelanggaran HAM berat sedang diselidiki secara pro justisia oleh Komnas HAM.
Kesimpulan Kepolisian yang menyatakan perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana patut diduga sebagai pemancing agar diajukan permohonan praperadilan ke pengadilan, sehingga ujungnya adalah putusan sah terhadap SP3 tersebut, sehingga putusan pengadilan tersebut akan menjadi alat untuk menyatakan bahwa tidak ada tindak pidana dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Oleh sebab itu kami menghimbau agar tidak ada pihak yang mengajukan permohonan praperadilan. Jika ada pihak yang mengajukan preperadilan, apakah itu Kejaksaan ataupun kelompok tertentu, maka patut diduga sebagai bagian konspirasi yang akan menguntungkan Lapindo.
Kami meminta kepada Kepolisian agar mencabut SP3, sebab hal itu dimungkinkan secara hukum. Kami siap memberikan dukungan bukti-bukti baru dengan bekerjasama dengan Engineer Drilling Club (EDC) serta kelompok-kelompok yang peduli terhadap masalah tersebut.
Kami menghimbau kepada rakyat Indonesia agar dapat memberikan dukungan kepada negara untuk melanjutkan proses hukum kasus lumpur Lapindo agar rakyat dan negara tidak dirugikan lebih besar.
Kami meminta kepada pemerintah pusat dan daerah untuk mengambil langkah konkrit dalam upaya penghentian semburan lumpur Lapindo, sebab berdasarkan audit BPK upaya penghentian semburan yang pernah dilakukan dihalangi oleh faktor-faktor nonteknis seperti contohnya peralatan yang dibutuhkan tidak semuanya disediakan.
0 komentar:
Posting Komentar