KEKISRUHAN PEMILU 2009 MERUPAKAN SKENARIO POLITIK

PERANG RAKYAT, Pemilu 2009 legislatif telah berlalu, sekarang kita hanya menunggu hasil penghitungan dan penetapan siapa yang berhak duduk di kursi empuk legilatif baik, DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kota muapun Kabupaten serta DPD, jadwal penetapan kursi DPR seyogianya ditetapkan pada tanggal 19-20 mei 2009, akan tetapi dimajukan menjadi tanggal 9 mei 2009 supaya sesuai dengan tahapan pilpres yang diatur pada UU No.42 Tahun2008 tentang Pilpres.

Menurut KPU hal ini dilakukan, karena UU No. 42 tahun 2008 menyatkan bahwa Parpol/koalisi Parpol diwajibkan mengajukan calon paling lambat 7 hari stelah penetapan suara nasinal atau pada tanggal 16 mei 2009. Jika penetapan kursi DPR tetap dilakukan pada 19-20 mei maka, Parpol/koalisi tidak dapat mengukur perolehan kursi sebagai salah satu syarat mengajukan kadindat pada batas pencalonan, karena perolehan kursi baru diketahui pada tanggal 19-20 Mei, pada perolehan kursi DPR yang diperoleh oleh partai / koalisi merupakan syarat lain, apabila parpol koalisi tidak mencapai 25 % dari jumlah suara nasional, maka partai/koalisi dapat mengajukan Capres dan Cawapres bila memenuhi kursi DPR sebesar 20 %. Jadi alasan dari KPU tersebut sangat rancu dan bukan alasan yang bijak. Maka timbul pertanyaan :

1. Kalaulah hal itu memang sebuah keharusan, apakah sebelumnya KPU tidak memperhatikan dan mempertimbangkan hal itu, sehingga baru sekarang diketahui dan diumumkan ??

2. Apakah KPU adalah kumpulan orang orang bodoh, sehingga tidak bisa menganalisa hal itu ?

Pelaksanaan Pemilu legislative 2009 sendiri diwarnai oleh banyak masalah yang sifatnya substantive, mulai dari DPT yang sembrawutan, Petugas KPPS, PPS, PPK dan KPU yang belum mampu sebagai penyelenggara yang bersih, jujur, adil dan terbuka, singkatnya masih jauh dari prinsip-prinsip penyelenggaran pemilu yang jelas tertuang dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaran Pemilu dan UU No. 10 Tentang Pemilu.

Permaslahan DPT tidak seharusnya ada bila pihak Penyelengara Pemilu dalam hal ini KPU menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, karena anggaran dan aturan untuk itu ada dan jelas. Tapi kurangnya monitoring dari pemerintah maka kesempatan ini banyak diambil oleh beberapa anggota-anggota Penyelenggara Pemilu di beberapa daerah tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik mendata dan memperbaharui DPT. Ironisnya wacana GOLPUT yang begitu tinggi mereka manfaatkan sebagai topeng, padahal faktanya banyak rakyat tidak memilih karena tidak mendapatkan kartu pemilih dan undangan memilih serta tidak terdaftar di DPT. Maka timbul pertanyaan:

Tingginya Golput Pada pemilu Legislatif 2009 apakah karena kesdaran masyarakat ataukah karena sengaja digolputkan?

Permasalahan tidak sampai disitu saja, Banyak KPPS, PPS, PPK dan KPUD diberbagaii daerah juga berbuat kecurangan dengan cara yang berbeda. Hal ini juga dapat diminimalkan bila pemerintah jauh-jauh hari mau dengan serius mengatisipasi kemungkinan kejadian seperti ini, karena pemerintah sudah pasti bisa memprediksi hal-hal semacam ini , karena pemilu di Indonesia bukan sesuatu yang baru, bila hal inipun tidak bisa diprediksi, maka sungguh kasihan bangsa ini mempunyai pemimpin yang tidak visioner.

Melihat banyknya kecurangan-kecurangan dan permaslahan yang terjadi pada pemilu ini, pemerintah hanya mengeluarkan statmen, agar supaya permasalahan Pemilu diselesaikan melalui jaluar hokum, akan tetapi ketika pihak Bawslu melaporkan kecurangan tersebut pihak Kepolisian menolak. Padahal menurut bawaslu laporan mereka sudah dilengkapi dengan alat-alat bukti dan telah memenuhi unsure-unsur untuk dapat dilaporkan dan diproses melalui jalur hokum. Penolakan olahb pihak Kepolisian sebenarnya tidak diperbolehkan, karena pihak kepolisian bertugas untuk menerima laporan dan aduan dari masyarakat, persoalan apakah laporan itu diproses sampai P-21, itu merupakan tugas, hak dan wewenang kepolisian.

Penolakan ini juga tidak mendapat perhatian dan tanggpan serius dari pemrinta, Presiden dalam hal ini sebagai Pimpinan tertinggi angkatan bersenjata seharusnya menyikapinya dengan serius sebagai bukti statmen beliau, karena hal ini dapat menimbulakn dampak/implikasi negatife dari masyarakat maupan dari dunia luar.

Saat ini kelompok yang pro dan kontra mengenai pemilu 2009 telah bermunculan dengan membawa opini dan rasionalisasi masing-masing. Kelompok yang paling serius menyikapi kekisruhan pemilu ini adalah kelompok yang mengatasnamakan dirinya Kelompom Teuku Umar, yang terdiri dari beberapa tokok Pimpinan Parpol peserta pemilu yang memperoleh suara yang cukup besar. Selain mempersoalkan masalah kekisruhan yang terjadi, mereka juga berencana akan memboikot Pilpres apabila kasus pemilu legislative 2009 belum tuntas. Apabila hal ini terjadi maka ada kemungkinan adanya capres tunggal, yang tentunya sangat mencoreng Indonesia sebagai Negara demokrasi yang juga bisa mengakibatkan kekosongan pemerintahan.

Menghadapi kemungkinan terjadinya hal tersebut, mencoba mencari solusi dengan membuat Perpu tentang CAPRES TUNGGAL, dan pemerintah menyatakan telah siap keluarkan perpu tersebut, tinggal menunggu inisiatif dari KPU sebagai penyelenggara pemilu.

Menurut staf khusus Kepresidenan Bidang Hukum Deny Indrayana, jika memang kondisi Capres tunggal benar-benar terjadi, maka saat ini tidak ada aturan hukum yang mengantisipasinya, ia menjelaskan baik UUD 1945 maupun UU No. 42 Tahun 2008 tentang PIlpres menyatkan bahwa Pilpres harus diikuti oleh 2 (dua) pasangan capres dan cawapres. Apabila Pilpres hanya diikuti oleh 1 (satu) pasangan capres/cawapres tentunya hal ini tidak bisa dibiarkan, karena bisa terjadi kekosongan pemerintahan. Prinsipnya satu detikpun tidak boleh terjadi kekosongan pemerintahan . Ia menambahkan, jika KPU tetap tidak menerima pasangan Capres tunggal, maka telah terpenuhi prasyarat konstitusional tentang keadaan memaksa dan darurat yang disyratkan oleh UUD 1945 untuk dikelurkannya Perpu oleh Pemerintah. Maka Timbul pertanyaan:

Mengapa baru saat ini diantisipasi?

Bila kita kaji lebih lanjut substansi kekisruhan Pemilu legilatif 2009 ini ada pada kinerja pemerintah melalu KPU yang belum bisa bekerja dengan baik sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam Undang-undang. Kemudian bila kita lihat proses pemilu serta fakta-fakta yang ada maka kita dapat menyimpulkan ada indikasi scenario politik mempertahankan kekuasaan. Hal ini dapt kita lihat dari :

1. Tidak antisipatifnya pemerintah pada hal-hal yang kemungkinan besar terjadi yang seharusnya dapat diprediksi.

2. Adanya semacam penghambatan Proses hokum dalam kecurangan Pemilu.

3. Adanya wacana angka Golput tinggi, padahal rakyat memilih karena tidak terdata pada DPT dan tidak mendapat kartu pemilih.

4. Tidak adanya sikap tegas pemerintah dalam menangani kasus-kasus pemilu dan kesannya melempar bola panas dan mengkambing hitamkan.

5. Adanya niat dari pemerintah agar pilpres tetap dilaksanakan walaupun diikuti Capres tunggal.

6. Bila terjadi kerusuhan pemilu maka yang pertama kali diselamatkan adalah ketua KPU karena inisiatif untuk membuat Perpu tentang capres tunggal,serta menetapkan hasil penghitungan suara ada padanya.

7. dimajukannya penetapan suara DPR padahal masih banyak kasus-kasus pemilu dan penghitungan suara didaerah-daerah belum selesai. Ditambah adanya pemilu susulan di beberapa daerah.

Berdasarkan uraian diatas maka pemilu 2009 sarat dengan scenario untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam dunia politik hal ini sah-sah saja, mempertahankan, merebut kekuasaan memang itulah kepentingan.

0 komentar:

Berbagi OPINI

Subscribe Bookmark and Share

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

 Subscribe in a reader

Yahoo bot last visit powered by Scriptme Google bot last visit powered by Scriptme