Informasi Intelijen Tidak Terbukti-Kekhawatiran atas rencana pendudukan KPU maupun demonstrasi oleh pendukung pasangan capres-cawapres yang kalah dalam pemilu tak terbukti. Sejak proses rekapitulasi dilakukan, unjuk rasa baru ada Sabtu siang seusai KPU menggelar rapat pleno terbuka penetapan dan pengumuman hasil pilpres. Namun, unjuk rasa yang berlangsung di tengah hujan lebat itu berjalan damai.
Sekitar pukul 13.00, pengamanan kantor KPU pun mulai dikendurkan. Beberapa kendaraan taktis yang sebelumnya disiagakan sudah dipindahkan. Demikian pula gulungan kawat berduri sudah dipindahkan hingga di pinggir trotoar KPU. Jalan Imam Bonjol pun akhirnya kembali dibuka.
Karena data intelijen yang disampaikan Presiden Yudhoyono tak terbukti, Koordinator Juru Bicara Pasangan Kalla-Wiranto, Poempida Hidayatulloh, berharap Presiden Yudhoyono mencabut pernyataannya terkait akan adanya upaya pendudukan paksa Gedung KPU. ”Kalau perlu, minta maaf kepada rakyat Indonesia,” ujarnya.
Koordinator Teknologi Informasi, Tabulasi Suara, dan Relasi KPU Tim Kampanye Megawati-Prabowo, Arif Wibowo, mengatakan, secara etik dan moral, Presiden seharusnya meminta maaf, khususnya kepada pihak- pihak yang dituduhnya hendak menduduki KPU dan mengganggu jalannya pemilu.
”Jika tudingan itu diarahkan ke kami, jelas kami tidak akan pernah melakukannya. Kami bermain dalam jalur demokrasi formal dengan menempuh jalur hukum jika tidak puas dengan hasil pemilu,” katanya.
Sewaktu dihubungi, Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng menolak jika Presiden harus meminta maaf dan mencabut pernyataannya. ”Jika tak terjadi apa-apa di KPU, alhamdulillah. Itu berarti aparat keamanan sudah mengantisipasinya sehingga mereka yang akan melakukan upaya tersebut tidak jadi melakukannya karena bisa diketahui publik dan aparat mencegahnya,” ujarnya (kompas.com)
Maka ada pertanyaan yang cukup menarik untuk kita jawab yaitu, Benarkah Data intelijen itu hanya omong kosong ataukah pihak yang mau melakukan pendudukan KPU mengurungkan niatnya karena telah terendus oleh pihak Intelijen?
Menurut Pemuda Indonesia baru perkataan jurubicara Kepresidenan Andi malarangeng yang menyatakan bahwa aparat keamaanan sudah dapat mengatinsipasinya hanya sebuah rasionalisasi politik, bukan sebuah pembuktian bahwa data intelijen yang menyatakan bahwa ada gerakan yang ingin menduduki KPU adalah benar.
Apabila memang benar,seharusnya pihak pemerintah tidak membeberkan rahasia tersebut, dan bukan berarti pemerintah tinggal diam. Pemerintah seharusnya membuktikan itu dengan menungu pihak yang menduduki KPU tersebut tapi telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menangkap dan sekaligus membuktikan kepada rakyat siapa oarang yang ingin menghancurkan demokrasi indonesia ini.
Jadi dengan itu kita semua tahu siapa yang menjadi dalangnya sehingga raktyat rakyat jangan dibuat bingung, yang akibatnya nanti terjadi konflik pemikiran pada setiap kepala rakyat. Tugas pemerintah membuat rakyat tenang bukan membuat bingung dengan skenario politik yang bergelap-gelap dalam terang dan berterang-terang dalam gelap seperti kejadian ini.
Sekitar pukul 13.00, pengamanan kantor KPU pun mulai dikendurkan. Beberapa kendaraan taktis yang sebelumnya disiagakan sudah dipindahkan. Demikian pula gulungan kawat berduri sudah dipindahkan hingga di pinggir trotoar KPU. Jalan Imam Bonjol pun akhirnya kembali dibuka.
Karena data intelijen yang disampaikan Presiden Yudhoyono tak terbukti, Koordinator Juru Bicara Pasangan Kalla-Wiranto, Poempida Hidayatulloh, berharap Presiden Yudhoyono mencabut pernyataannya terkait akan adanya upaya pendudukan paksa Gedung KPU. ”Kalau perlu, minta maaf kepada rakyat Indonesia,” ujarnya.
Koordinator Teknologi Informasi, Tabulasi Suara, dan Relasi KPU Tim Kampanye Megawati-Prabowo, Arif Wibowo, mengatakan, secara etik dan moral, Presiden seharusnya meminta maaf, khususnya kepada pihak- pihak yang dituduhnya hendak menduduki KPU dan mengganggu jalannya pemilu.
”Jika tudingan itu diarahkan ke kami, jelas kami tidak akan pernah melakukannya. Kami bermain dalam jalur demokrasi formal dengan menempuh jalur hukum jika tidak puas dengan hasil pemilu,” katanya.
Sewaktu dihubungi, Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng menolak jika Presiden harus meminta maaf dan mencabut pernyataannya. ”Jika tak terjadi apa-apa di KPU, alhamdulillah. Itu berarti aparat keamanan sudah mengantisipasinya sehingga mereka yang akan melakukan upaya tersebut tidak jadi melakukannya karena bisa diketahui publik dan aparat mencegahnya,” ujarnya (kompas.com)
Maka ada pertanyaan yang cukup menarik untuk kita jawab yaitu, Benarkah Data intelijen itu hanya omong kosong ataukah pihak yang mau melakukan pendudukan KPU mengurungkan niatnya karena telah terendus oleh pihak Intelijen?
Menurut Pemuda Indonesia baru perkataan jurubicara Kepresidenan Andi malarangeng yang menyatakan bahwa aparat keamaanan sudah dapat mengatinsipasinya hanya sebuah rasionalisasi politik, bukan sebuah pembuktian bahwa data intelijen yang menyatakan bahwa ada gerakan yang ingin menduduki KPU adalah benar.
Apabila memang benar,seharusnya pihak pemerintah tidak membeberkan rahasia tersebut, dan bukan berarti pemerintah tinggal diam. Pemerintah seharusnya membuktikan itu dengan menungu pihak yang menduduki KPU tersebut tapi telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menangkap dan sekaligus membuktikan kepada rakyat siapa oarang yang ingin menghancurkan demokrasi indonesia ini.
Jadi dengan itu kita semua tahu siapa yang menjadi dalangnya sehingga raktyat rakyat jangan dibuat bingung, yang akibatnya nanti terjadi konflik pemikiran pada setiap kepala rakyat. Tugas pemerintah membuat rakyat tenang bukan membuat bingung dengan skenario politik yang bergelap-gelap dalam terang dan berterang-terang dalam gelap seperti kejadian ini.
1 komentar:
Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, lain tataran lain pula kepentingannya.
Kalau dicermati, pernyataan Presiden SBY tentang negara dalam bahaya memiliki landasan konstitusional yang sahih. Tujuannya untuk menumbuhkan kewaspadaan rakyat. Menurut saya, tindakan SBY benar, lebih baik "jatuhkan kartu lebih dulu daripada kecolongan belakangan."
Toh, di tataran massa rakyat, pernyataan SBY diterima sebagai biasa-biasa saja. Tidak ada gejolak apa-apa. Lain halnya dengan kaum elite politik.
Respon impulsif dan kekritisan yang berlebihan mengindikasikan betapa semangat kepentingan menempati derajat yang lebih tinggi daripada kesadaran persatuan negara-bangsa.
Tidak ada satupun politisi yang tidak menyebut Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika secara berulang-ulang. Tetapi kita lupa bahwa panggung demokrasi dan perpolitikan kita sudah dirasuki anasir liberalisme yang bercirikan gontokan bebas. Membesar-besarkan paradigma oposisi vs koalisi, presidensil vs parlementer dan spirit individualisme (semua itu tidak dikenal dalam Pancasila dan UUD 1945), sekedar untuk memperkuat posisi tawar dalam perumusan power sharing. Kaum elite politik mestilah menyadari: kalau perekonomian dituduh sebagai menganut neo-liberal, dunia politikpun tidak kalah pekat liberalnya. Akankah kita menghidupkan kembali pertarungan kepentingan seperti yang pernah berjalan di jaman Konstituante?
Posting Komentar