MENGGAGAS NASIONALISASI KESEHATAN

Perempuan-perempuan hebat! Begitulah setidaknya dalam beberapa minggu yang lalu kita disuguhi berita yang sangat menarik untuk dipelajari dan diikuti dari setiap berita yang menghiasi jagad informasi di negeri ini. Mulai dari para TKI yang disiksa di negeri Jiran, Malaysia, kemudian Prita Mulyasari, hingga Paramita yang melawan arogansi dan ketidaknyamanan rumah sakit.

Dengan segala kekaguman dan hormat kepada perjuangan perempuan-perempuan tersebut, tulisan ini ingin mengajukan pembelajaran dari persoalan kesehatan, yang jelas menjadi kebutuhan pokok rakyat banyak setelah sandang, pangan, dan papan.

Kasus dari dua nama terakhir memiliki beberapa kesamaan. Selain nama yang hampir sama, juga kasus yang dihadapi memiliki kemiripan yakni pemilik dan pengelola rumah sakit, serta kasus yang berkaitan dengan kesehatan.

Prita sempat masuk sel tahanan tiga minggu, lantaran didakwa mencemarkan nama baik karena menceritakan ketidaktransparanan pihak rumah sakit OMNI Internasional, Tangerang. Setelah ibu dua anak balita ini mengeluhkan kondisi tersebut lewat sebuah e-mail kepada kawannya. Paramita dipaksa membayar biaya rumah sakit Surabaya Medical Service, padahal terjadi malpraktek, sehingga anaknya meninggal walaupun pada akhirnya dilunaskan setelah melalui banyak tekanan.


Neoliberalisme di Bidang Kesehatan

Meski kedua kasus memiliki jarak tempat berjauhan, yakni di ujung barat Pulau Jawa dan di ujung timur Jawa, namun masih dalam satu kesatuan wilayah hukum Indonesia. Perlu ditelisik lebih jauh, mengapa kejadian ini terjadi.


Pangkal pokok dari kedua kasus ini dan juga banyaknya kasus kesehatan, yang sebenarnya terletak pada lemahnya peran negara dalam melayani, mengelola dan mengawasi kesehatan untuk rakyatnya. Ini bisa dibuktikan dengan pelayanan dan pengelolaan kesehatan masyarakat diserahkan kepada pihak swasta atau individu yang punya modal.

Padahal sesuai tujuan membentuk negara adalah agar hal yang berkaitan dengan kepentingan publik dapat dikelola dan didistribusikan oleh negara. Tapi sebaliknya, rakyat berkewajiban untuk membayar pajak. Di Indonesia menurut ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, jelas sekali secara gamblang telah termaktub dalam batang tubuh dari pasal 31, 32, 33 dan 34.

Ketika kepentingan publik diserahkan pengelolaannya kepada pihak swasta, maka yang terjadi adalah kapitalisasi (penumpukan keuntungan). Pengelola sebagai individu mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk dirinya sendiri, sementara keuntungan itu berasal dari publik. Karena hal itulah kebutuhan publik menjadi sangat mahal, salah satunya adalah kesehatan. Kondisi ini sebenarnya juga tercermin dalam situasi pendidikan kita, perumahan, listrik, air. Padahal rakyat sudah membayarkan kewajiban pajak melalui banyak barang yang masuk ke kas negara ini.


Terjadinya kapitalisasi dalam dunia kesehatan, maka setiap tindakan dalam pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan yang berhubungan dengan kesehatan akan diberi harga. Artinya pasien atau masyarakat harus mengeluarkan uang untuk setiap hal yang dibutuhkan. Dari jarum suntik, obat, darah, tempat perawatan, makanan, pemeriksaan dokter dan alat operasi, semua harus dibayar oleh pasien. Entah dia berasal dari kaum miskin atau berpunya sekalipun. Meski ada subsidi kesehatan buat orang miskin, tetapi tetap saja tidak mampu menjawab mahalnya biaya, karena anggaran kesehatan tidak lebih dari 2% dari APBN atau hanya sekitar 19 triliun rupiah.


Di lain hal, ketika ada masalah muncul maka yang menjadi sasaran kesalahan adalah pasien dan dokter atau perawat, bukan pemilik rumah sakit. Entah karena analisis dan penanganan dokter untuk pasien benar atau mengalami kesalahan sehingga terjadi malpraktek, seperti kasus Paramitha. Bila ada ketidakpuasan, pasien tidak bisa protes atau kalau curhat ke orang lain akan dipidanakan dengan tuduhan pencemaran nama baik, seperti yang dialami Prita. Inilah hakikat neoliberalisme-kapitalisme.

Jawabannya Nasionalisasi Kesehatan

Banyaknya masyarakat Indonesia mengalami kesehatan yang buruk, tidak lepas dari sistem kesehatan yang diserahkan kepada swasta. Sebagai persoalan pokok atas mahalnya kesehatan dan rendahnya kesehatan masyarakat maka tidak ada jalan lain, pemerintah perlu melakukan perubahan secara total atas sistem kesehatan dan negara mengambil alih pengelolaannya sehingga masyarakat mendapat biaya murah, kalau perlu digratiskan.


Nasionalisasi di bidang kesehatan, itulah kalimat sederhana yang tepat. Mungkin kalimat ini menakutkan para pelaku usaha di bidang kesehatan. Namun kepentingan kesehatan rakyat Indonesia jauh lebih penting untuk kelangsungan masa depan bangsa ini. Nasionalisasi kesehatan meliputi pembiayaan, pengelolaan, pelayanan dan penyediaan obat serta alat-alat medis berteknologi tinggi.


Dalam tahap awal, mungkin masih bisa mengakomodasi swasta untuk masa transisi. Tetapi yang terpenting adalah kemauan pemerintah mengambil peran sesungguhnya dalam melayani kesehatan masyarakat. Pemerintah membuat kebijakan tentang standarisasi pelayanan, upah dokter distandarisasi sebagai pegawai negeri dan dibayar penuh oleh pemerintah, juga biaya obat serta operasi serta pemeriksaan untuk semua jenis ditanggung oleh negara.


Bila diajukan sebuah pertanyaan, mungkinkah? Maka jawabannya adalah mungkin. Hal ini memang sebuah keharusan. Bila niatnya adalah demi masa depan bangsa, maka jangan ditanya soal berasal dari mana pembiayaannya. Karena sebenarnya nasionalisasi kesehatan tidak berdiri sendiri, harus juga dibuat kebijakan nasionalisasi di bidang-bidang lainnya. Sebagai acuan, di negara-negara maju dan pusatnya neoliberalisme (penjajahan gaya baru dalam skema kapitalisme) saja rumah sakit semua dikelola dan menjadi milik negara.

Di Amerika dan Singapura saja atau negara yang sekian lama diembargo secara ekonomi-politik oleh Amerika, sebut saja Kuba, yang kini memiliki kualitas kesehatan dan dokter nomor satu di dunia dengan memakai sistem kesehatan terpusat oleh negara. Negeri ini juga telah mengirimkan 30 ribu dokternya ke seluruh dunia.

Momentum sekarang menjadi tepat, karena Indonesia baru selesai pemilihan presiden, bila tidak ada yang menyampaikan program nasionalisasi kesehatan sebagai jalan keluar. Atau minimal menaikkan anggaran untuk kesehatan sampai 20% dari APBN, maka sebenarnya kita bisa berkesimpulan bahwa semua capres/cawapres dan partai politik yang ada, merupakan penganut aliran neoliberalisme. Dan rakyat harus menyiapkan dirinya membangun kekuatan sendiri. (prakarsa-rakyat.org)

0 komentar:

Berbagi OPINI

Subscribe Bookmark and Share

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

 Subscribe in a reader

Yahoo bot last visit powered by Scriptme Google bot last visit powered by Scriptme