APBN-P 2010 Memihak Elit Politik dan Birokrasi - Century gate sebagai epicentrum skandal terkini, telah mampu menarik proses APBN Perubahan 2010 ke dalam arus pusaran. Manuver politik DPR dengan gertakan tidak mau membahas APBNP dan menolak Menteri Keuangan Sri Mulyani oleh DPR aliran opsi “ C” menggambarkan proses APBNP sekedar alat tawar menawar Pemerintah dengan DPR dalam pusaran century.
Aroma kecurigaan juga tercium ketika Pemerintah sengaja mempercepat pengajuan APBN-P 2010, yang tidak lain sebagai bentuk legitimasi bahwa DPR masih mengakui SM sebagai MenKeu. Ini terbukti dari dua alasan utama yang diajukan Pemerintah dalam APBNP tidak dapat dibenarkan. Dalam Nota Keuangan APBN P 2010, kedua alasan Pemerintah adalah; Pertama, terjadi perkembangan dan perubahan signifikan pada berbagai indikator ekonomi makro. Kedua, APBN 2010 merupakan APBN transisi untuk mengisi kekosongan dan menjaga kesinambungan roda pemerintahan.
Pada alasan pertama, Pasal 161 UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, justru memberikan diskresi kepada Pemerintah hanya perlu mengajukan RUU Perubahan APBN, jika terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan perubahan postur APBN secara signifikan. Pasal ini memberikan batasan perubahan signifikan jika terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi minimal 1% dibawah asumsi yang telah ditetapkan dan deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal 10% dari asumsi yang telah ditetapkan. Sementara dari tujuh asumsi ekonomi makro yang dijadikan alasan perubahan APBN 2010, hanya harga minyak yang mengalami deviasi meningkat 12% dari USD/ barel 65 menjadi USD/barel 77.
Dari sisi postur APBN-P 2010, juga tidak mengalami perubahan signifikan. Penerimaan perpajakan hanya mengalami penurunan 1,28% , belanja Kementrian dan Lembaga meningkat 4,54 % dan defisit meningkat dari 1,6% PDB menjadi 2,1% PDB. Sementara ketentuan pasal ini, memberikan kelonggaran penurunan perpajakan minimal 10%, kenaikan atau penurunan belanja Kementerian lembaga minimal 10% dan defisit minimal 10% rasio defisit APBN terhadap PDB yang telah ditetapkan. Artinya, RUU perubahan APBN 2010 yang diajukan Pemerintah sebenarnya tidak perlu dilakukan, mengingat tidak melebihi batasan-batasan yang diatur dalam pasal ini.
Alasan kedua APBN 2010 merupakan APBN transisi Pemerintahan baru, juga tidak selayaknya benar. Dalam Nota keuangan APBN 2010, tidak terdapat satu kalimat yang menyatakan APBN 2010 sebagai APBN transisi. Bahkan, APBN 2010 telah mengidentifikasi program-program prioritas sebagai lanjutan dari program prioritas sebelumnya. Kita semua tahu, periodenya saja yang berganti tapi tidak rezimnya.
Pembahasan APBN-P 2010 dalam kondisi politik tidak sehat menghasilkan APBN-P 2010 yang lebih berorientasi pada kepentingan pramatis elit politik dan birokrasi elit. Meningkatnya posisi tawar fungsi anggaran DPR dalam pembahasan APBN-P 2010. Sayangnya, justru dimanfaatkan hanya untuk kepentingan DPR an-sich. DPR mengajukan angka yang fantastis sebesar Rp. 1,8 Trilyun untuk pembangunan gedung barunya. Angka ini lebih besar dari anggaran program keluarga harapan yang hanya senilai Rp. 1,3 trilyun untuk 810 ribu Rumah Tangga Sangat Miskin. Padahal, dengan anggaran Rp. 1,8 trilyun anggaran ini bisa mengcover 1,1 juta trilyun RTSM program keluarga harapan, dibandingkan Gedung DPR yang hanya dinikmati 560 anggota DPR.
Manuver politik DPR berhasil memaksa Pemerintah mengabulkan permintaan DPR yang menyakiti hati rakyat ini. DPR yang seharusnya mengkritisi proposal anggaran yang diajukan Pemerintah, justru tidak menjadi lokomotif bagi Kementerian/ Lembaga lain yang memiliki paradigma penganggaran incremental, harus naik setiap pembahasan anggaran. Seharusnya DPR, memangkas belanja perjalanan Luar Negeri yang nilainya mencapai Rp. 122 milyar. Selain mengajukan tambahan anggaran Rp. 250 Milyar untuk awal pembangunan Gedung DPR, sebelumnya DPR juga mengajukan tambahan anggaran asusransi kesehatan kelas VVIP senilai Rp. 10 Milyar dan pembangunan rumah aspirasi di 77 Dapilnya yang mencapai nilai Rp. 78 Milyar dan tambahan tenaga ahli. Gambaran ini menunjukan APBNP 2010 yang pro elit politik yakni para anggota DPR.
Tabiat DPR dengan fungsi anggarannya yang pragmatis, membuat DPR tidak berkutik ketika Pemerintah mengajukan kembali tambahan anggaran untuk Remunerasi senilai Rp. 3,3 trilyun sehingga total menjadi Rp. 13,9 trilyun (dalam APBN 2010 telah dialokasikan 10,6 trilyun). Padahal terbukti remunurasi tidak mampu menghilangkan perilaku korup yang bercokol di birokrasi. Jelaslah Rp. 13,9 trilyun, hanya ditujukan kepada para elit birokrasi. Padahal dibandingkan alokasi sehelintir elit birorkasi, dengan anggaran Rp. 13,9 trilyun ini mampu mengcover 76,4 juta Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin selama 3 tahun, atau 1,9 juta balita gizi buruk, 1,8 milyar liter beras, dan 27,8 juta obat ARV bagi 400 ribu penderita ODHA. *Milis
Pada alasan pertama, Pasal 161 UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, justru memberikan diskresi kepada Pemerintah hanya perlu mengajukan RUU Perubahan APBN, jika terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan perubahan postur APBN secara signifikan. Pasal ini memberikan batasan perubahan signifikan jika terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi minimal 1% dibawah asumsi yang telah ditetapkan dan deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal 10% dari asumsi yang telah ditetapkan. Sementara dari tujuh asumsi ekonomi makro yang dijadikan alasan perubahan APBN 2010, hanya harga minyak yang mengalami deviasi meningkat 12% dari USD/ barel 65 menjadi USD/barel 77.
Dari sisi postur APBN-P 2010, juga tidak mengalami perubahan signifikan. Penerimaan perpajakan hanya mengalami penurunan 1,28% , belanja Kementrian dan Lembaga meningkat 4,54 % dan defisit meningkat dari 1,6% PDB menjadi 2,1% PDB. Sementara ketentuan pasal ini, memberikan kelonggaran penurunan perpajakan minimal 10%, kenaikan atau penurunan belanja Kementerian lembaga minimal 10% dan defisit minimal 10% rasio defisit APBN terhadap PDB yang telah ditetapkan. Artinya, RUU perubahan APBN 2010 yang diajukan Pemerintah sebenarnya tidak perlu dilakukan, mengingat tidak melebihi batasan-batasan yang diatur dalam pasal ini.
Alasan kedua APBN 2010 merupakan APBN transisi Pemerintahan baru, juga tidak selayaknya benar. Dalam Nota keuangan APBN 2010, tidak terdapat satu kalimat yang menyatakan APBN 2010 sebagai APBN transisi. Bahkan, APBN 2010 telah mengidentifikasi program-program prioritas sebagai lanjutan dari program prioritas sebelumnya. Kita semua tahu, periodenya saja yang berganti tapi tidak rezimnya.
Pembahasan APBN-P 2010 dalam kondisi politik tidak sehat menghasilkan APBN-P 2010 yang lebih berorientasi pada kepentingan pramatis elit politik dan birokrasi elit. Meningkatnya posisi tawar fungsi anggaran DPR dalam pembahasan APBN-P 2010. Sayangnya, justru dimanfaatkan hanya untuk kepentingan DPR an-sich. DPR mengajukan angka yang fantastis sebesar Rp. 1,8 Trilyun untuk pembangunan gedung barunya. Angka ini lebih besar dari anggaran program keluarga harapan yang hanya senilai Rp. 1,3 trilyun untuk 810 ribu Rumah Tangga Sangat Miskin. Padahal, dengan anggaran Rp. 1,8 trilyun anggaran ini bisa mengcover 1,1 juta trilyun RTSM program keluarga harapan, dibandingkan Gedung DPR yang hanya dinikmati 560 anggota DPR.
Manuver politik DPR berhasil memaksa Pemerintah mengabulkan permintaan DPR yang menyakiti hati rakyat ini. DPR yang seharusnya mengkritisi proposal anggaran yang diajukan Pemerintah, justru tidak menjadi lokomotif bagi Kementerian/ Lembaga lain yang memiliki paradigma penganggaran incremental, harus naik setiap pembahasan anggaran. Seharusnya DPR, memangkas belanja perjalanan Luar Negeri yang nilainya mencapai Rp. 122 milyar. Selain mengajukan tambahan anggaran Rp. 250 Milyar untuk awal pembangunan Gedung DPR, sebelumnya DPR juga mengajukan tambahan anggaran asusransi kesehatan kelas VVIP senilai Rp. 10 Milyar dan pembangunan rumah aspirasi di 77 Dapilnya yang mencapai nilai Rp. 78 Milyar dan tambahan tenaga ahli. Gambaran ini menunjukan APBNP 2010 yang pro elit politik yakni para anggota DPR.
Tabiat DPR dengan fungsi anggarannya yang pragmatis, membuat DPR tidak berkutik ketika Pemerintah mengajukan kembali tambahan anggaran untuk Remunerasi senilai Rp. 3,3 trilyun sehingga total menjadi Rp. 13,9 trilyun (dalam APBN 2010 telah dialokasikan 10,6 trilyun). Padahal terbukti remunurasi tidak mampu menghilangkan perilaku korup yang bercokol di birokrasi. Jelaslah Rp. 13,9 trilyun, hanya ditujukan kepada para elit birokrasi. Padahal dibandingkan alokasi sehelintir elit birorkasi, dengan anggaran Rp. 13,9 trilyun ini mampu mengcover 76,4 juta Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin selama 3 tahun, atau 1,9 juta balita gizi buruk, 1,8 milyar liter beras, dan 27,8 juta obat ARV bagi 400 ribu penderita ODHA. *Milis
0 komentar:
Posting Komentar