OPOSISI RAKYAT BERSATU

OPOSISI RAKYAT BERSATU - Perang rakyat, Pileg dan Pilpres 2009 telah usai. Perang rakyat yang hanya diadakan 5 tahun ini dimenangkan oleh Partai pendukung pemerintah, sedangkan partai oposisi yakni PDIP hanya berada di urutan ketiga. Partai Demokrat dan Golkar berada di posisi pertama dan kedua.

Proses Pemilu baik legislatif dan presiden relatif berjalan dengan baik, walapun mash banyak masalah-masalah yang harus dibenahi oleh Penyelenggar Pemilu dan pemerintah masa mendatang untuk menciptakan Pemilu yang lebih baik, sehingga Perang rakyat tidak ternodai dan berjalan dengan adil dan damai.

Masalah yang paling substansial pada perang rakyat 2009 yang lalu adalah mengenai hak-hak rakyat yang hilang untuk maju ke medan tempur, mengangkat senjata berupa alat contreng untuk menentukan pilihanya di medan tempur yaitu TPS karena tidak memiliki kartu pemilih maupun namanya tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ironisnya banyak nama yang ganda dan sudah meninggal masih terdaftar. Singkatnya DPT pada Pemilu kemaren amburadal, walaupun ada tawaran solusi untuk mengatasi itu yaitu berupa Keputusan MK bahwa sanya bagi orang-orang yang belum terdaftar dapat menggunakan hak pilihnya dengan cacatan menunjukan KTP dan kartu Keluarga. Hal ini menurut Pemuda Indonesia baru hanyalah setetes embun di padang pasir, karena bagaimanapun juga 3 hari adalah awktu yang sangat singkat untuk mempersiapkan peralatan perang untuk maju kemedan tempur.

Disamping permasalahan DPT, masih ada permasalahan yang relatif perlu juga diperhatikan yaitu mengenai independesi penyelenggara Pemilu yaitu KPU tentang sosialisasi Pilpres yang menguntungkan salah satu pasangan dan adanya lembaga asing dalam proses tabulasi suara.

Mengenai Permasalahan DPT, sesudah pemilu legislatif merupakan sebuah permasalahan yang menjadi wacana dan isu nasional dimana ada 4 partai besar ( PDIP, GOLKAR, HANURA, GERINDRA) membentuk sebuah kelompok Teuku Umar untuk mempertanyakan hal tersebut. Banyak kalangan pemebentukan kelompok ini merupakan cikal bakal koalisi besar, maupun oposisi yang besar. Tentunya bila hal ini terjadi, maka nantinya akan ada perimbangan yang seimbang anatara partai pendukung pemerintah maupun pihak oposisi, dan tentunya hal ini sangat baik untuk perkembangan demokrasi kita, dimana kontrol dan check and Balance akan lebih berjalan dengan dinamis dan kritis, yang tentunya akan berujung kepada kebijakan yang lebih mengedepankan nasib rakyat.

cikal bakal oposisi besar ini ternyata hanya sebatas kepentingan kelompok bukan kepentingan bangsa , dimana kelompok ini kehilangan arah perjuangan dengan adanya pertarungan Pilpres 2009. Empat partai besar yang menjadi pelopor kelompok ini ternyata berseberangan pada pilpres tersebut dimana mereka sama-sama ngotot maju menjadi capres. Golkar dengan Hanura, PDIP dengan Gerindra. Mereka bertarung melawan capres incumbent, sehingga ada muncul perkataan oleh salah satu capres " Saya dikeroyok".

Perpecahan kelompok yang diharapkan dapat menjadikan proses demokrasi indonesia mejadi lebih dinamis dengan seimbangnya partai pendukung pemerintah dan oposisi ini sangat disayangkan, tapi inilah politik banyak tidak adala lawan maupun kawan yang ada hanya kepentingan, teori yang menyesatkan tapi masih relevan dengan keaadaan.

Pilpres 2009 sendiri harus diselesaikan lewat jalur pengadilan, dimana pasangan yang kalah sesuai tabulasi penghitungan suara nasional yang dilakukan oleh KPU yaitu pasangan Mega-Pro dan JK-Win menggugat KPU ke Mahkamah Konstitusi dengan berbagai alasan, salah satunya masalah DPT yang menurut mereka terjadi kesalahan sehingga merugikan mereka dan juga hasil penhitungan suara KPU juga tidak benar dimana pasangan SBY-Boediono tidak memperoleh saluara lebih dari 50 % hal ini wajib dipertanggung jawabkan dengan tuntuntan pilpres berlangsung dua putaran. Tapi bukti-bukti mereka tidak dapat meyakinkan Mahkamah konstitusi dan membuat keputusan bahawa gugatan mereka tidak dikabulkan, dengan itu maka presiden yang terpilih adalah pasangan SBY-Boediono.

Dari guagatan yang dilakukan oleh kedua pasangan yang kalah tersebut ada hal yang sangat menarik yaitu bahwa kedua-duanya mengclaim bahwa pasangan merekalah yang berhak mengikuti putaran kedua pilpres 2009 bertarung melawan pasangan SBY-Boediono. Hal ini sangat tidak rasional, walupun mereka keduanya membawa segudang data-data dan bukti. Karena substansial gugatan mereka sama dan alasan gugatan mereka juga sama hanya berbeda angka. Kemudian bila kita lihat selesih hasil penghitungan suara dari ketiga capres sangat jauh SBY-Boediono sekitar 61 % Mega-Pro sekitar 26 % dan JK-win sekitar 13 %. jadi bila adapun kesalahan penghitungan suara maka sangat kecil kemungkinan mencapai 15 % dari total pemilih yang bila dijumlahkan sekitar 15-20 juta suara. Hal ini memberi kesan bahwa para Capres yang melakukan gugatan tidak serius dan hanya membuka peluang posisi tawar bagi mereka dan juga masalah eksistensi mereka sebagai Capres walaupun mereka bertopeng dibalik keadilan untuk rakyat.

Ada beberapa hal dapat kita perhatikan mengapa ada indikasi bahwa para Capres itu tidak serius :
  1. Masalah DPT bukan merupakan persoalan baru, dimana pada pileg pun hal itu telah menjadi wacana dan isu, dan mereka juga telah membuat kelompok untuk mempertanyakan hal itu, tapi tidak ada kelanjutanya.
  2. Pada Pilpres masalah DPT baru dimunculkan ke permukaan menjelang waktu pemungutan suara sudah dekat.
  3. Bila Mereka serius mempermasalahkan DPT dan masalah lainnya, mereka dapat melakukan boikot pilpres minimal Pilpres diundur sampai masalah DPT selesai, tetapi hal itu tidak dilakukan, dengan alasan kelancaran proses pemilu.
  4. Dalam menggugat KPU mengenai hasil Pilpres kedua pasangan yang kalah sama-sama ngotot bahwa mereka yang berhak menjadi lawan SBY-Boediono. Mengapa mereka tidak menyatukan gugatan saja.
  5. Sikap partai pendukung mereka yang tidak konsisten menjadi oposisi.

Kembali, inilah dunia politik yang masih mengedepankan teori sesat, Teori yang hanya berujung kepada pembagian jatah kekuasaan. Hal ini dapat kita lihat dari wacana yang berkembang sekarang, dimana partai pendukung capres yang kalah sudah mulai merapat dan mengendus-ngendus pada pemenang seperti politik kucing.

Wacana oposisi hanya sebatas tawar menawar kekuasaan, padahal untuk menjadikan kebijakan yang tepat perlu sebuah kelompok yang kritis dan sifatnya mengkontrol kekuasaan, sehingga penguasa tidak semena-mena dan arogan yang berujung kepada kediktatoran.

Situasi dan kondisi politik bangsa kita saat ini haruslah kita sikapi dengan cepat dan tepat karena bila tidak ada kelompok yang menjadi oposisi maka selamat datang ORDE BARU 2. Partai politik yang kita harapakan dapat bersikap opoisi hanya memainkan sandiwara yang mempesona dan membuat rakyat sebagai penonton kadang tertawa dan menangis serta terharu.

Sebagai rakyat tentunya kita tidak boleh hanya menonton sandiwara yang menyesatkan tersebut. Mari kita bersatu padu mengkritisi pemerintah. Bila partai politik tidak mau menjadi oposisi maka kita rakyatlah menjadi oposisi. Jangan biarkan kucuran keringan dan keluh kesah serta nasib kita serahkan kepada dunia akting yang hanya membuat kita bermimpi. Sekaranglah saatnya Saudara/i semua untuk menjadi oposisi. Kita kritisi penguasa, biarlah pemerintah dan wakil kita disenayan sana hanya sebagai legalitas,saatnya kita yang menentukan kemana arah bangsa ini, saatnya rakyat menentukan nasibnya, jangan biarkan perjuangan kita yang hanya ada dalam lima tahun sekali sia-sia dan dinodai serta dinikamati sebagian orang. Bersatulah rakyat Indonesia dalam OPOSISI RAKYAT BERSATU.

By: Donsisco. P, SH

2 komentar:

Berry Devanda mengatakan...

didalam politik tidak ada teman dan kawan sejati... yang ada hanyalah kepentingan sejati...

Nur mengatakan...

huft politik... benar-benar... yah politik

Berbagi OPINI

Subscribe Bookmark and Share

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

 Subscribe in a reader

Yahoo bot last visit powered by Scriptme Google bot last visit powered by Scriptme